Sharing tulisan Wendy Putranto (a.k.a wenzrawk) ttg rencana major label membunuh artis indonesia
Diambil dari blognya : [Klik Link ini]
buat yg blom tau, mas wenz adalah manajer The Upstairs dan kontributor di Rolling Stone Indonesia
Sobat , kita sudah sampai di era baru industri musik.
Era
dimana label rekaman melancarkan strategi “terkejam” dalam sejarah
industri musik di tanah air: Menguasai artis dengan jalan mengelola
karir mereka. Istilah populernya mereka melakukan ekspansi bisnis dengan
cara membuka divisi Manajemen Artis di label rekaman.
Gue
adalah salah seorang yang nggak setuju dengan berdirinya manajemen artis
dalam sebuah label rekaman. Gue punya argumentasi yang kuat untuk ini.
Label rekaman itu INKOMPETEN untuk urusan manajemen artis dan nantinya
Gue yakin malah bakal merusak tatanan industri musik yang selama ini
otonom dari tiga belah pihak terkait (artis, manajemen, label).
Bisnis
utama label rekaman adalah jualan kaset, CD, RBT, dsb. Semua yang
berhubungan dengan rekaman musik. Dari nama saja sudah jelas: Perusahaan
Rekaman! Akhirnya ketika mereka membuka divisi baru (Artis Manajemen)
gampang ditebak kalo kerepotan dan berbagai kebodohan dalam urusan
manajerial artis bakal terjadi di sana. Mulai dari SDM yang mereka
miliki butut hingga praktek-praktek jualan band yang obscure. Karena
mereka masih “belajar” maka jangan cari profesionalisme manajemen artis
di dalam major label
Conflict of interest tingkat tinggi juga
bakal terjadi di dalam band ketika manajernya bingung harus membela
kepentingan yang mana nantinya (artis atau label?). Secara manajer lama
kemungkinan besar bakal ”digaji” oleh label dan nanti hanya akan menjadi
sub-ordinat dari manajemen baru.
Gara-gara pembajakan musik yang
makin gokil (bahkan konon direstui negara) dan menurun drastisnya
penjualan album fisikal, akhirnya mereka mengambil jalan pintas
mendirikan manajemen artis yang ujungnya lagi-lagi merugikan artis
nantinya. Label bukannya bersatu memerangi pembajakan namun malah
berkomplot untuk mengeksploitasi artis habis-habisan agar mereka bisa
terhindar dari kebangkrutan.
Biarkan artis yang bangkrut, tapi
jangan labelnya! Kira-kira kasarnya begitu. Sekali lagi artis adalah
obyek penderita nomor satu nantinya.
Setelah kecilnya nilai
royalti mekanikal di Indonesia, statistik penjualan album yang
manipulatif, dilarangnya artis bergabung dengan KCI oleh ASIRI (atau
diminta keluar dari KCI jika telah bergabung) maka penindasan terhadap
artis akan datang lebih kejam lagi nantinya. Detailnya kira-kira seperti
di bawah ini.
Ini prediksi yang bakal terjadi di masa depan
dengan ”artis-artis baru” yang kontrak dengan major label yang memiliki
divisi manajemen artis:
- Masa depan karir band baru akan tergantung dari label rekaman, bukan berada di tangan manajemen lama atau artisnya sendiri.
-
Tumpulnya peran dan kontrol manajemen artis yang lama dalam membela
kepentingan-kepentingan artis. Manajemen lama akan menjadi sub-ordinat
dari label dan kemudian hanya berfungsi sebagai baby-sitting artis.
Semua fungsi kontrol dan decision making artis akan terpusat kepada
label sebagai investor. Manajer lama tidak punya hak karena mereka tidak
invest apapun. Kemungkinan besar mereka akan disingkirkan dengan jalan
“pembusukan”. Mempengaruhi artis dengan iming-iming kesuksesan di
industri musik.
- Kontrol yang sangat ketat dalam proses kreatif
dan menciptakan musik berakibat hilangnya idealisme artistik &
estetis karena artis hanya akan diperbolehkan menciptakan musik-musik
yang tengah disukai oleh pasar yang tidak cerdas. Sejuta band mirip
Kangen Band diprediksi akan membajir di industri musik kita
-
Berkurang secara signifikannya pemasukan bagi artis karena mereka harus
share profit selain dari royalti mechanical, live show, merchandise,
touring, advertising, publishing dan sebagainya. Hal yang belum pernah
terjadi sebelumya. It’s a very big, big, big LOSS, ladies &
gentleman!
- Buruknya lagi, kalau artis baru nanti terlalu
blo’on, maka tingkat eksploitasi akan diperkejam lagi hingga nama band
dipatenkan oleh label, internal band akan dikontrol langsung pihak
label, penggelapan royalty, sales report yang culas hingga berlakunya
sistem bodoh dengan label menggaji para artis. Jika selama ini kita
memandang artis sebagai seniman dengan talenta yang tidak ternilai maka
selanjutnya kita akan dipaksa memposisikan artis tak lebih dari “kuli
musikal.”
Strategi ”mega-eksploitatif” ini memang hanya
diberlakukan bagi band-band baru yang ditawarkan kontrak rekaman oleh
major record company. Contoh paling konkret misalnya terjadi pada Nidji,
Letto (Musica), The Changcuters, St. Loco, Vagetoz (SonyBMG Indonesia),
Kangen Band (Warner), Tahta (EMI), dsb. Semuanya memang memiliki
deal-deal yang berbeda satu sama lain. Maksudnya tingkat eksploitasinya
berbeda-beda. Ada yang parah dan ada yang parah banget. Gue sempat
mendengar ada satu band yang dipotong komisinya sebesar 45% (gross)
setelah join dengan manajemen artis major label.
Band baru yang
hadir dengan strategi yang brilyan dan sangat berhasil di awal karirnya
adalah Samsons yang melakukan master licensing deal dengan Universal
Music Indonesia. Mereka membiayai sendiri produksi rekaman dan kemudian
menjalin kerjasama promosi & distribusi dengan major label
selanjutnya. Ke depannya deal seperti ini nantinya akan menjadi
”favorit” para manajer artis (tentu bila mampu).
Pastinya, label
rekaman tidak akan menawarkan strategi keji ini kepada band-band
lawas/senior karena bargaining position mereka sudah sangat kuat. Selain
brand mereka sudah dikenal luas, pengalaman dan pengetahuan bisnis
musik yang sangat memadai, fanbase yang kuat juga sangat berpengaruh
terhadap positioning mereka di industri musik. Label sendiri kadangkala
melihat artis-artis lawas sebagai ”uzur,” ”grace period” atau sudah
rendah ”selling point”nya.
Itulah kenapa akhirnya label rekaman
besar hanya akan memburu band-band/artis baru yang masih hijau, yang
minim pengetahuan bisnis musiknya dan belum paham peta/konstalasi
industri musik lokal. Selain bakal gampang dibodohi dengan kontrak yang
sangat eksploitatif mereka juga akan dipengaruhi iming-iming “fame &
fortune” di industri musik. Padahal belum tentu bakal “booming” juga
Jika
Anda saat ini berada di sebuah band baru dan ditawarkan kontrak rekaman
dari major label maka jangan terburu-buru tergiur dulu! Imej bergengsi
major label tidak akan banyak memberi keuntungan. Yang terpenting adalah
deal-nya, bukan masalah major atau indie label-nya. Pelajari dulu
dengan seksama kontraknya, undang pengacara kenalan Anda untuk
membedahnya, konsultasi dengan band-band lain yang sudah berpengalaman.
Sudah
banyak kasus terjadi sebelumnya. Band-band baru menandatangani kontrak
rekaman jangka panjang dengan major label dan akhirnya menyesal. Ketika
bandnya booming dan banyak menerima job manggung beberapa ada yang
melakukan ”resistensi” konyol dengan tidak menyetorkan komisi kepada
label sesuai perjanjian. Menjadi konyol karena setelah kontrak rekaman
itu ditandatangani maka konsekuensi-konsekuensi di belakangnya
seharusnya sudah kita tahu sejak awal. Oleh karena itu jangan ikut
mengantri di barisan kebodohan. Empowered yourself!
Cara kerja
label juga akan lebih mirip jarum suntik nantinya. Sekali pakai langsung
buang, disposable. Artis-artis baru tidak akan ada yang didevelop untuk
panjang umur karirnya, mereka hanya akan disupport demi “popularitas
maksimal dua atau tiga album saja!” Setelah booming besar dan untung
besar, siap-siap menuju ladang pembantaian. Setelah dibantai maka dicari
lagi talenta baru. Kalau kita jeli fenomena seperti ini sebenarnya
telah terjadi sekarang ini di Indonesia.
Label besar sejatinya
nanti hanya akan menjadi pusat manufaktur band! Kita tidak akan
menemukan lagi band-band awet populer seperti Slank, Gigi, Netral,
Dewa19, Naif di masa depan nantinya. Semuanya hanya akan “easy come,
easy go!”
Tapi kalo ada yang bilang label membuka manajemen artis
bakal membunuh pula profesi manajer artis individual/otonom, gue sama
sekali nggak setuju. Gue justru nggak melihat kalau manajer-manajer
artis yang independen itu bakal tergusur atau kehilangan pekerjaan. Ini
analisa yang terlalu sembrono. It’s not the end of the world as we know
it Negara ini punya lebih dari 200 juta penduduk. Yang pengen jadi
artis, bikin band dan gilpop (gila popularitas) setiap harinya pasti
bertambah ribuan. Justru segudang talenta ini menjadi market yang sangat
potensial bagi manajer-manajer artis untuk dikelola.
Manajemen
artis yang individual atau berbentuk firma masih akan sangat dibutuhkan
dan berperan penting di sini nantinya. Perkembangan teknologi yang gokil
belakangan masih menjanjikan masa depan yang cerah buat band-band yang
tidak dikontrak major label lokal/internasional a.k.a indie. Hadirnya
MySpace, YouTube, Multiply, Friendster, Ning dan perangkat musik digital
lainnya sangat memungkinkan untuk mencetak artis besar via jalur
alternatif. The Upstairs sendiri udah membuktikan hal ini sebelumnya.
Apalagi
tren terbaru di Amrik dan Inggris sekarang rata-rata artis bernama
besar malas memperpanjang kontrak rekaman mereka dan memilih hengkang
dari major label. Prince, Madonna, Radiohead, NIN adalah para pelopor
”gerakan kembali ke indie” ini. Mereka justru mempercayakan manajemen
artis mereka yang independen untuk berfungsi pula sebagai “label
rekaman”. Cepat atau lambat gue pikir band-band besar di Indonesia akan
mengambil langkah yang sama nantinya. Slank, Naif dan Netral malah sudah
membuktikannya….. dan mereka cukup berhasil! Salute!
Masih
adakah jalan lain? Ada banget! Di dalam negeri sendiri sudah ada yang
mempelopori ”penggratisan musik.” Album rekaman kini telah berubah
fungsi menjadi sebuah ”marketing tool” untuk menjaring job manggung.
Mungkin inilah masa dimana musisi tidak lagi memikirkan royalti rekaman!
Bisa jadi kalau teknologi kloning nanti sudah semakin sempurna maka ini
berarti ancaman besar!
Koil menjadi pionir dengan menjalin
kerjasama dengan majalah musik untuk mendistribusikan album terbarunya
(Blacklight Shines On) secara gratis. Selain itu mereka juga memberi
akses download album gratis via website/mailing list musik. Ide Koil ini
memang tergolong baru walau sebenarnya tidak original juga. Prince
bulan Juni lalu lebih dulu mengedarkan 3 juta keping album terbarunya
secara gratis via Tabloid Sun di Inggris.
Memang perlu dipelajari
lebih lanjut lagi apakah strategi ”penggratisan musik” ini nantinya
bakal merugikan atau malah menguntungkan. Yang pasti band-band baru
tidak akan memiliki ”keistimewaan” seperti Koil jika mau mengambil
strategi serupa.
Yang menarik lagi, sempat ada pertanyaan di
bawah ini yang datang ke saya ketika jadi pembicara di sebuah seminar
musik di kampus UI beberapa waktu lalu:
Bagaimana dengan marak
terjadinya kasus manager-manager artis individual/otonom yang tidak
profesional atau bermasalah? Katakan saja menipu artisnya, melakukan
penggelapan keuangan, dsb.
Nah, untuk point di atas sebenernya
gue jamin nggak akan terjadi lagi kalau di dalam manajemen artis kita
sudah DITERTIBKAN secara organisasi dan administrasinya. Mari kita
lihat apakah kita sudah memiliki kontrak tertulis antara manajemen
dengan artis yang mengatur kerjasama profesional ini? Apakah peran, hak
& kewajiban masing-masing pihak sudah di jabarkan secara rinci?
Pemisahan fungsi manajemen sudah diberlakukan? Apakah antar personel
band kita sudah memiliki kontrak internal pula? Kalo semua konsolidasi
internal ini beres gue jamin masalah-masalah di atas nggak bakal
terulang lagi di masa depan.
Oke, sementara begitu aja pandangan
gue tentang isyu ini. Memang tulisan ini nggak akan mengubah strategi
major label untuk tidak membuka divisi manajemen artis di dalam
perusahaan mereka, toh semuanya jadi keputusan bisnis mereka juga. It’s
their damn business afterall Lagipula masih ada juga major label yang
tidak memberlakukan strategi dagang ini (paling tidak sementara ini),
misalnya seperti Aquarius Musikindo, Universal Music Indonesia.
Yah, minimal kita bisa mencegah regenerasi kebodohan dan berlanjutnya proses pembodohan seperti ini sekarang juga.
0 comments:
Post a Comment